Kenapa Murid yang Patuh Dihargai, Tapi Murid Kritis Justru Dihindari?

Dalam banyak ruang kelas, murid yang duduk tenang, mengikuti instruksi, tidak banyak bertanya, dan mengerjakan tugas dengan rapi seringkali mendapat label sebagai “murid baik.” Mereka diberi nilai sikap yang tinggi, sering dijadikan contoh, dan mendapat perlakuan khusus dari guru maupun sistem. Sementara itu, murid yang mempertanyakan materi, menyanggah pendapat guru, atau mencoba mendiskusikan sudut pandang lain kerap dianggap mengganggu, tidak sopan, atau bahkan sebagai pembangkang.

Pola ini menandakan sebuah preferensi yang dalam terhadap kepatuhan. Sistem pendidikan cenderung mengasosiasikan keteraturan dan kontrol sebagai bentuk keberhasilan. link neymar88 Padahal, dunia nyata dan perkembangan intelektual justru banyak ditopang oleh keberanian untuk bertanya, menyanggah, dan berpikir mandiri.

Sekolah sebagai Mesin Standarisasi

Fungsi utama sekolah sejak lama adalah menyiapkan murid untuk masuk ke dalam masyarakat yang terstruktur—entah itu dunia kerja, birokrasi, atau institusi lainnya. Dalam sistem seperti itu, patuh menjadi mata uang yang penting. Murid yang patuh dianggap lebih mudah diatur, lebih mudah diarahkan, dan tidak menyulitkan guru. Akibatnya, kurikulum, metode evaluasi, dan budaya sekolah pun cenderung menyingkirkan karakter yang terlalu vokal atau kritis.

Kemampuan berpikir kritis sering hanya dimasukkan dalam wacana, bukan dalam praktik nyata. Banyak sekolah memasukkan “pembelajaran kritis” dalam dokumen kurikulum, namun tidak benar-benar membuka ruang untuk perdebatan terbuka. Murid diberi soal pilihan ganda, diminta menghafal definisi, dan diajari bahwa jawaban benar adalah satu dan mutlak.

Guru di Tengah Tekanan dan Ekspektasi

Penting untuk tidak semata-mata menyalahkan guru dalam fenomena ini. Banyak guru bekerja di bawah tekanan administratif, target kurikulum yang padat, dan harapan dari orang tua yang lebih menyukai anak-anak yang “bertingkah baik.” Dalam kondisi tersebut, murid yang patuh menjadi penyelamat suasana kelas. Mereka mempermudah pekerjaan guru, mempercepat jalannya pelajaran, dan menghindarkan konflik yang melelahkan.

Sebaliknya, murid yang kritis bisa membuat kelas melambat. Mereka mempertanyakan tugas, meminta klarifikasi, atau menantang argumen yang disampaikan guru. Bagi sebagian pendidik, ini bisa dirasakan sebagai bentuk tidak hormat, apalagi jika belum ada budaya diskusi terbuka di sekolah tersebut.

Ketakutan Akan Otonomi Murid

Ada kekhawatiran tersembunyi di balik penolakan terhadap murid kritis: ketakutan akan kehilangan kendali. Murid yang terbiasa berpikir kritis akan mulai mempertanyakan aturan, kebijakan sekolah, atau bahkan norma sosial. Ini menimbulkan keresahan, terutama dalam sistem yang terbiasa dengan hierarki vertikal—di mana guru berada di atas dan murid di bawah.

Di banyak konteks, pendidikan masih dijalankan dalam kerangka otoriter. Suara murid belum diakui sebagai bagian dari dialog, melainkan sebagai gangguan terhadap tatanan yang sudah dibentuk. Maka, alih-alih membuka ruang dialog, sistem lebih memilih menekan murid yang terlalu aktif menyuarakan pikirannya.

Implikasi Jangka Panjang bagi Generasi Muda

Ketika murid kritis disingkirkan atau diasingkan, kita kehilangan potensi besar. Individu yang terbiasa bertanya dan menggugat sejak kecil akan tumbuh menjadi pemikir independen, pemimpin, dan inovator. Tapi jika sejak dini mereka dipaksa untuk diam dan mengikuti, maka kepercayaan diri mereka bisa runtuh. Mereka bisa tumbuh menjadi pribadi yang ragu mengambil keputusan, takut berbeda pendapat, dan tidak terbiasa dengan ketidakpastian.

Di sisi lain, murid yang terbiasa mendapatkan pujian hanya karena patuh bisa tumbuh dengan ekspektasi bahwa kepatuhan adalah satu-satunya jalan untuk dihargai. Ini menciptakan generasi yang menghindari risiko, menolak perubahan, dan sulit menavigasi kompleksitas dunia yang tidak selalu memberikan instruksi jelas.

Kesimpulan

Ketimpangan antara penghargaan terhadap murid patuh dan penghindaran terhadap murid kritis mencerminkan nilai-nilai yang dipegang oleh sistem pendidikan kita. Selama kepatuhan lebih dipuja daripada pemikiran mandiri, ruang kelas akan terus menjadi tempat yang sempit bagi pertumbuhan intelektual yang sejati. Dalam jangka panjang, bukan hanya murid kritis yang dirugikan, tapi seluruh masyarakat yang kehilangan generasi pembaharu dan penanya yang berani.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You may use these HTML tags and attributes: <a href="" title=""> <abbr title=""> <acronym title=""> <b> <blockquote cite=""> <cite> <code> <del datetime=""> <em> <i> <q cite=""> <s> <strike> <strong>